Gerimis mencium ku diam – diam. Matanya melirik
ku perlahan. Mata siapa? Tatapan dalam rintiknya. Seperti aku yang dalam diam
memuja yang aku bilang matahari pagi. Pukul 06.00 sudah tiga ratus lima belas
hari aku duduk disini membawa buku catatan
yang semakin lama makin dekil. Disini
sepi, hanya ada aku dan anak kecil dengan seragam SD basah kuyup, tangannya
menggenggam erat payung warna violet dengan logo salah satu operator seluler.
Giginya bunyi gemeretak. Anak lelaki itu mungkin umurnya tujuh tahun. Hey, dia
mendekatiku..
“kakak, mau menyebrang? ”
“tidak aku mau duduk disini saja”
“kenapa tidak menyebrang saja?”
“kenapa aku harus menyebrang ?”
“hari ini hujan sepi”
“karena hanya gerimis”
Aku mengambil payung dari anak itu, melipat
payungnya, wajah ku terkena cipratan air hujan yang menempel dari payung
violetnya.
“sini duduk saja”
“ah tidak, baju ku basah”
Aku membuka jaket abu-abu ku dan memakaikannya
pada anak itu
“dingin ya?” Tanya ku
“iya, tadi. Sekarang hangat”
“sudah duduk disini saja.. “
Aku berdiri, pergi meninggalkan anak itu
sendirian, kurasa lembar biru di kantong jaket ku cukup untuk mengganti sepinya
hujan tanpa penumpang ojek payung.
“kakak mau kemana..?”
“beli jaket baru…”
Aku meninggalkan anak itu di halte bis ini
sendirian, anak itu tersenyum manis sekali, dengan jaket ku. Dan bibir ku pun
tak tahan untuk tersenyum semanis dia.
Setidaknya kini ia telah hangat bersama gerimisnya. Dan aku juga.
Di ujung persimpangan sana, ternyata ada yang
sedang menunggu ku sedari tadi.
No comments:
Post a Comment