Sutradara : Mark Romanek
Produser : Alex Garland, Andrew Macdonald,
Allon Reich
Penulis : Alex Garland (screenplay), Kazuo
Ishiguro (novel)
Pemain :
Carey Mulligan, Keira Knightley, Andrew Garfield, Isobel Meikle-Small, Ella
Purnell, Charlie Rowe, Sally Hawkins, Charlotte Rampling, Nathalie Richard,
Andrea Riseborough
Musik : Rachel Portman
Sinematografi : Adam Kimmel
Editing : Barney Pilling Studio
DNA Films/Film4/Fox Searchlight Pictures
Distrisi : Fox Searchlight Pictures
Waktu : 103 Menit
Review
Film
ini diadaptasi dari novel yang berjudul sama ‘Never Let Me Go’ karya penulis
asal Inggris Kazuo Ishiguro yang dirilis tahun 2005.
Novel
ini banyak mendapatkan pujian dari banyak kritikus dunia literasi. Dan juga
TIME Magazine menggelarinya novel terbaik di tahun 2005 dan memasukkannya dalam
daftar TIME 100 Best English-Language Novel from 1923 to 2005.
Sebuah
kisah tentang manusia produk cloning disebuah sekolah asrama, Hailsham, jika
berbicara tentang cloning atau kecanggihan teknologi didalam film ini tidak
dapat ditemukan property sci-fi meski bisa saja film ini dikategorikan sebagai
film fiksi ilmiah (science-fiction) tetapi penonton akan mendapatkan kisah
mellow-drama yang membuat penonton menginterpretasikan sendiri bagaimana
perasaan dari setiap tokoh.
Aspek
editing sangat membantu menciptakan plot yang halus dan suasana menjadi
terkesan lambat untuk memberi ruang bagi penonton merasakan alur cerita dari
film ini.
Sinopsis
Berkisah
tentang cinta segitiga antara Kathy (Carey Mulligan), Tommy (Andrew Garfield),
dan Ruth (Keira Knightley).
Mereka
adalah ‘produk klonik’ yang diciptakan untuk mendonorkan organ-organ vital.
Mereka diciptakan untuk kehidupan orang lain dan tidak memiliki hak untuk hidup
mereka sendiri.
Hailsham
adalah “sekolah” para produk cloning in, dengan setting tahung 1978 Hailsham
tidaklah seperti sekolah umumnya mereka diajarkan nilai-nilai “pengorbanan” dan
diisolasi dari dunia luar, dengan banyak cerita-cerita tidak masuk akal tentang
‘dunia diluar gerbang Hailsham’.
Mereka
adalah sebuah ‘produk’ yang dijaga kualitasnya, diberi asupan gizi yang baik,
kontrol kesehatan yang bener-benar diperhatikan serta tidak diperkenankan
merasakan ‘kebahagiaan’ dunia luar.
Sampai akhirnya seorang guru (atau “guardian”) membocorkan fakta pahit
tentang mereka dan penonton pun mengerti babak pertama tentang hidup mereka.
Kathy
yang masih muda malu-malu jatuh cinta pada Tommy, dan Tommy juga membalasnya
dengan malu-malu. Cintanya monyet keduanya hanya sebatas malu-malu-kucing,
Hingga akhirnya cinta monyet keduanya buyar ketika Ruth menggandeng tangan
Tommy.
Kemudian
film meloncat tujuh tahun selanjutnya, di mana ketiganya sudah mencapai
kedewasaan dan diharuskan keluar dari Hailsham menuju The Cottage, semacam
tempat persinggahan“mereka”sampai akhirnya waktu pendonoran tiba.
Selama
itu Kathy tetap memendam cintanya pada Tommy yang sudah menjadi milik Ruth.
Ketiganya dihadapkan pada berbagai macam masalah di masa ini, seputar origin
(manusia sumber DNA mereka), seputar rahasia dibalik Hailsham, bahkan seputar
permasalahan cinta segitiga mereka yang semakin rumit.
Babak
terakhir, seperti embel-embelnya “Completion,” mengambil latar sembilan tahun
kemudian. Di masa ini, Kathy, Ruth, dan Tommy sudah berpisah satu sama lain.
Kathy bekerja sebagai “carer” (perawat bagi para “pendonor”) sampai waktu donornya
tiba. Babak terakhir ini bercerita reuni antara Kathy, Ruth, dan Tommy. Dilema
cinta segitiga mereka pun dituntaskan di babak di sini.
---
ANALISIS EDITING
Film
dimulai dengan adegan Kathy H berdiri sendirian menyaksikan Tommy D yang
tergeletak dimeja operasi menunggu untuk dilakukannya donor organ, penonton
diperlihatkan ‘eye contact’ antara Kathy dan Tommy, diisi dengan voice over
Kathy tentang pandangannya tentang hidup, bahwa tidak ada lagi visi untuk masa
depannya, kisah Tommy dan Ruth, voice over diisi dengan montage menampilkan
tokoh-tokoh itu ketika mereka bersekolah di Hailsham, voice over juga
menggiring untuk masuk ke Flashback Setting Tahun 1978 dengan scoring suara
nyanyian anak-anak Hailsham mengantarkan penonton memasuki kehidupan Kathy dan
alasan Kathy mengapa ia berdiri sendirian di Rumah Sakit itu.
Tiga
fase waktu membagi film ini; Saat mereka anak-anak (tahun 1978), Kehidupan
mereka di The Cottage, dan Tahun 90-an masa dimana semua konflik akhirnya
terjabarkan. Meski pun memiliki tiga fase tetapi teknik continuity cutting
tetap mendominasi. Kesinambungan antara frame satu dengan yang lainnya sangat
terasa dapat disaksikan didalam adegan awal ketika Kathy berdiri sendirian
memandang Tommy yang tergeletak dimeja operasi, sebelum Tommy mendapatkan
suntikan obat bius tommy dan Kathy sempat melakukan ‘eye contact’, hingga
flashback memasuki tiga fase tersebut, diakhir cerita dijelaskan bahwa itu
adalah ‘eye contacr’ terakhir Kathy dengan Tommy sebelum tommy meninggal, meski
tidak diceritakan apa yang terjadi pada tommy setelah menjalani operasi dan
adegan itu juga yang menghantarkan Kathy
kedalam “babak baru” menyingkapi hidup – fase terakhir-.
Plot
yang lambat dan membuat penonton “berfikir” dari setiap adegan, dialog, serta
ekspresi, dibutuhkan kepekaan tersendiri untuk memahami dan menikmati film ini.
Suasana ‘smooth’ seolah memberi ruang bagi penonton untuk menelaah dan meresapi
setiap dialog dan makna yang dileparkan oleh penulis naskah. Salah satu contoh
dari continuity cutting dapat dilihat dari saat adegan Ruth kecil bercerita
mengenai “perubahan tommy” dan tatapan Ruth saat Kathy dan Tommy bersama, semua
adegan mulai berhubungan dan terjawab ketika Kathy menyaksikan ruth dan tommy
bergandengan tangan dan berciuman di scene yang lain.
Sebagai
sebuah film cinta dan konflik yang kompleks didalam diri masing-masing tokoh,
film ini mengajak penonton merasakan sendiri dengan membuka mata dan hati.
Penggunaan
teknik editing film seperti Paralel dapat dijumpai dibeberapa scene seperti
ketika Ruth, Tommy dan Kathy memutuskan menjalani hidup masing-masing, tommy
dengan kesendiriannya di padang rumput, Kathy memutuskan untuk mengikuti
program “perawat” dan pergi meninggalkan The College.
Montage
– montage juga banyak ditunjukan dan menambah efek semu didalam film ini,
karena film ini menyiratkan kesemuan hidup tokoh – tokohnya.
Penonton
harus memahami dialog dengan seksama para tokoh agar dapat mengikuti alur
cerita film ini, karena film ini memiliki sedikit “adegan bercerita” –tidak
juga movie talk- serta memahami setiap frame yang berkesan sederhana tetapi
memiliki banyak arti (contoh, montage – para siswa berbaris mengambil susu
secara teratur- monoton, menunjukan keteraturan dan “hidup yang sudah
diprogram”) Jika tidak penonton akan lepas dari pemahaman cerita. Itu adalah
kelebihan dan kekurangan dari film ini ketika sebuah cerita yang kompleks dan
detail dikemas dengan halus dan sederhana,
Penonton
disini hanya sebagai penonton, karena cerita tidak mengemas penonton untuk
menjadi dan merasakan “inside” tokoh, hingga bisa saja terjadi salah
interpretasi begitu pula dengan editingnya sedikit sekali menempatkan penonton
sebagai ‘tokoh’ (point of view). Sebegai penonton yang tidak diperkenankan
memasuki cerita tentunya akan terasa kurang mendapatkan emosi dari cerita
sangat membantu dengan music yang menciptakan suasana melankolis itu.
Gambar
yang kosong mampu menciptakan suasana “emptiness” tentang pandangan hidup,
kehilangan meski terasa seperti ada “ruang kosong” ditengah tempo yang berjalan
lambat.
Jika
sutradara memang ingin menepatkan kehampaan didalam “Never Let You Go” maka
sutradara cukup baik mengeksekusi cerita ini sebagai film cantik yang hampa.