Di sini, duduk meneguk es kopi karamel, melihatmu,
memandangmu ngedumel. Rambut bergelombang tanpa ombak, ditengah kesunyian
beriak.
Terserah, itu katamu tanpa arah.
Kebisingan mu fana jadi nyata namun
nirmakna.
Bahwa sebenarnya adalah kau seumpama katamu sendiri, kepala
mu yang bawel berteriak - teriak untuk egomu sendiri. Karena yang kau lihat
adalah mencoba melihatku.
Lalu bagaimana dengan hal-hal yang memaksa untuk
membangunkan mu tapi kau tetap tak ingin.
Karena jangan terlalu banyak kopi - lagi dengan karamel,
kau
akan tertutup manis sebentar - lalu palsu.
Ah kopi.
Kamu tahu?
Seribu cangkir kopi pun tak akan melukaimu, lebih dari satu
kaktus yang kau sentuh lalu nikmati aliran darahmu.
Darah itu, jauh dari simbol
kepalsuan, kepalsuan yang kau bungkus dengan perekat bernama senyuman.
Apa kita harus menunggu lebih lama tanpa rasa ?
Apa kita harus menanti lebih jauh tanpa arti?
Apa yang kau tunggu ?
Apa yang kau nanti ?
Sudahlah, hangatkan saja perekat itu hingga meleleh,
hingga
tertetes ke telapak kita.
Kepalsuan hangat di atas telapak, merubahnya menjadi nyata;
genggaman kita akan impian yang sama,
meski memang rute yang ditempuh tidaklah sama.
Kopi - Kaktus - Jarak
semua orang berkata begitu ..
Lalu kau akan sebut malam, senja, pagi dan segala
keteraturan semesta yang kau buat acak di kepalamu.
Urailah - satu persatu tentang timur dan barat -
dan nama
nama lain dari arah mata angin, titik bintang utara
atau segala bayangan bulan.
detik mu terus berjalan -
semesta mu tetap menyala meski kau
-
kita semua, sebentar lagi padam.
Dan kemudian kau bakar sebatang guling tembakau.
Asap memelukmu hingga akhirnya benar - benar lenyap bersama
padamnya nyala api.
Api meluap tak beraturan layaknya ego dan segala pikirmu itu
padam, sementara.
Dalam kesementaraan kita terdiam, menyadari bisikan alam
seakan adanya perpisahan.
Orang bilang, perpisahan adalah jarak.
Perpisahan adalah
kerelaan untuk bertemunya kembali jiwa dengan kekosongan,
itu kata ku.
Lantas, apa katamu untuk deskripsikan perpisahan?
Karena sejatinya perpisahan bukan tentang jarak dan jauhnya
dua tubuh -
tetapi logika, rasa dan tubuh dalam kita masing-masing yang tidak
menyatu.
Maka berpisahlah kita pada hakikat semesta.
Yang hidup
seolah mati.
(ditulis; jauh sebelum Ramadhan - Bersama Rudi si Monyet
No comments:
Post a Comment