Sampai waktu pulang, kita terburu-buru berkemas, memasukkan
semua perkakas didalam satu tas.
Malam
itu ada yang mabuk: ada yang mabuk sampai tak sadar,
ada beberapa yang mabuk
ingin bercumbu,
lalu ada yang mencoba menjadi pemabuk,
sebagian lagi tak sempat
mabuk.
Diujung sana, ia mabuk
rindu.
Perasaan-perasaan lalu lupa dimasukan kedalam satu peti,
berharapnya bisa ditinggal saja, agar tak lagi jua rasa prasangka.
Apa daya tanda tanya menyergap masuk, meminta untuk dikemas, masuk kedalam tas,
isi antara perkakas, body
lotion, sunblock, alas tidur, dan keping mimpi.
Di larut, angan tak ada yang bersambut,
satu-satu cerita berpelukan mesra, mereka punya masing-masing nama,
satu-satu cerita berpelukan mesra, mereka punya masing-masing nama,
tak ada yang berani
membocori nama mereka, pelukan saja.
Tanda rindu sebentar. Tak ada yang berani.
Malam yang berakhir, tidak ada hujan,
tidak ada do’a
yang terucap, tak ada harap yang disebut.
Karena tak ada.
Lalu ia, berdiri
berbatas angkasa.
Dilagukan nyanyian hutan yang kesakitan…
Air sungai yang kesepian, tak ingin ada yang pergi,
ditebang lagi, dihancur lagi
Disini hati ulun
tertinggal…
Salam pada awan-awan, tak berani menatap tajam kebawah lalu
tak berani sayonara.
Kecil hati merelakan pergi…
Tak ada yang harus diucapkan selamat tinggal, atau dikecup
sayang…
Tak ada yang perlu di risaukan..
Sampai ketika waktu pulang benar datang,
Ia telah sampai.
Ingat apa rasanya mabuk malam itu, bagaimana suara sumbang, parau
memanggil-manggil. Bilang cinta diam-diam.
Menyeberang menjauhi yang ditinggal.
Ini tak hanya hati ku yang lupa ku bawa, tapi juga kau.
Berlalu – ada kenang yang berebut minta diingat, penyusup
malam yang hadir di babak mimpi, tentang apa…
tentang harus kembali, entah
untuk apa, menemuimu kah?
Maka, ia jangan
kembali, jangan datang, jangan berani-berani, jangan…..