Tuesday, November 2, 2010

Kopi

Aku masih duduk sendiri didepan kamar kostan ku, kamar yang ku bagi bersama beberapa teman yang lain. Tidak ada waktu untuk diam disini. Semua saling berbicara lalu menari nari diatas kertas dan tertawa. Ini adalah ruang kotak yang sibuk, bahkan tidak ada waktu untuk burung – burung gereja menjumpai kami. Karena kami memang sibuk.

Tapi malam ini aku duduk disini sendiri dan terdiam. Ketika mereka sedang terbahak aku hanya terdiam. Aku tidak merasakan kalut atau emosi – emosi negatif lainya. Aku hanya ingin diam. Mereka pasti menduga aku sedang diserang patah hati lagi. Hatiku sedang terobek lagi, karena menurut mereka aku ini adalah ratunya patah hati. Si putri tolol yang hanya bisa bercerita hari ini apa lagi yang membuat aku sedih, aku ini si putri patah hati yang menangis ketika tidur dan aku ini putri patah hati yang memenuhi lagu cengeng dalam playlist music playernya.

Dalam diam aku berfikir. Benarkah aku si ratu patah hati?? Mungkin tidak... kenapa aku selalu bercerita apa yang membuat aku sedih pada hari ini karena mereka adalah sahabat ku yang membuat ku senang. Aku mengatakan pada mereka tentang kesedihan ku kerena aku tau mereka lah yang selalu buat aku tertawa dan menertawakan kesedihanku. Tapi tidak bagi mereka. Mereka lelah untuk dengarkan rintihan tolol ini, mungkin kuping mereka sakit untuk mendengarkan sakit hati ku yang dahsyat ini. Maka aku terdiam.
Lebih baik aku diam menahan sendiri semua ini atau berjalan menyusuri jakarta yang hampa sendiri dan dalam diam.
Agar mereka senang, mereka tidak perlu mendengar lagi sakit ku... dan aku senang karenanya.

Apakah aku masih disebut si putri patah hati??


Lalu ku ambil segelas kopi hitam disamping aku duduk. Terasa dingin. Tampaknya aku lebih banyak berdiam dari pada menikmati segelas kopi hitam yang sudah tidak panas.
Ketika aku merebus air aku tau air itu suhunya sangat tinggi.. dan aku tidak menyeburkan tanganku didalam panci kecil dengan isi air 100oC. aku tidak mau, makanya aku diamkan kopi itu sebentar. Tapi ternyata aku terlalu lama berdiam. Sehingga kopi itu sudah menjadi dingin dan mengendap. Rasanya pun tidak seenak ketika masih hangat. Tapi harus tetap aku minum. Karena itu adalah kopiku.

Pertama kali aku melangkah melewati lorong pintu ini pun aku tau, bahwa rumah ini akan menjadi ’hangat’ dengan segala tawa dan pembicaraan bodoh yang sepertinya tidak penting tetapi membuat kami saling berbagi. Tapi ketika terlalu banyak waktu yang dilalui maka semua menjadi dingin, salahku karena terlalu banyak diam? Salah ku ketika aku menggerutu didalam hati karena cucian piring ini sudah dua hari tidak ada yang mencuci lalu aku akhirnya mencuci. Apa aku egois? Apa aku pamrih?? Salahku ketika mereka menuduhku menjadikan tempat ini sebagai persembunyian dari waktu dan hidup yang mengejarku? Salah ku ketika aku menangis dan mereka menertwaiku karena aku adalah si putri patah hati?
Tidak karena aku hanya ingin mereka senang dengan diam.

Sampai kapan aku akan merasa tidak nyaman seperti ini. Harusnya aku bisa lari dan lepas, karena semua ini sudah membuatku tidak nyaman. Tidak ada lagi kehangatan yang tercipta ketika aku pulang kerja dan mereka semua menghibur, tidak ada lagi pelukan2 konyol yang membuat ku geli lalu berlari berteriak kata2 sumpah yang kasar dan terbahak bahak... tidak. Tapi ini adalah kopi ku. Kopi yang aku buat dan aku nikmati.

Tapi kemudian kepala suku datang. Mencicipi kopi ku, menikmatinya, mencium aromanya.
”kopi nya enak.. lo yang buat? ” begitu katanya.

Aku terdiam lagi...
Lalu dia mengambil sebatang rokok disamping kopi ku dan pergi.

Kopinya enak. Aku yang buat. Menurutnya.

Dan aku tersenyum, sependek itukah pikiranku menghakimi mereka? Sedengki itukah aku dalam diam.
Mereka memang tidak mencium ku lalu mengusap air mata ku dengan tangan2 mereka yang kasar. Tapi mereka membuat aku lebih kuat. Ya lebih kuat. Mereka mendukungku dengan kritik dan buat aku sakit agar aku lebih berfikir. Mungkin tanpa mereka aku akan tetap menjadi si putri patah hati yang tolol. Ya tanpa mereka aku akan seperti itu. Tidak mampu bertahan. Mereka bukan orang yang terlena dengan sakit tapi mereka bercinta dengan sakit mereka dan menghasilkan goresan warna. Mereka melakukan itu karena mereka menginginkan ku menantang dunia. Bukan bersembunyi. Mereka tidak ingin aku berada di kotak ini sebagai pelampiasan. Tapi sebagai kotak berkarya. Itulah esensi hidup yang aku baru pelajari. Proses dalam karya. Ketika aku menyerah untuk menghabisi kopi ini maka aku akan menjadi orang bodoh yang menyia – nyiakan bagian kopi yang paling enak.

Mereka mengajari ku hidup santai, ditengah beban yang sebetulnya juga mereka pikul sendiri. Karena akhirnya KAMI berproses dalam diam kami masing2. suatu hari aku pernah memergoki mereka masing2 dalam keadaan terdiam. Berfikir. Lalu.. 1... 2... 3.... klik. Semua seolah baik – baik saja. Seperti di cambuk lalu tertawa.
Mereka ajari aku di cambuk. Agar kulit yang lemah ini bisa kapalan dan tidak merasakan sakit lagi.

Dan inilah aku sekarang seorang putri patah hati yang terdiam sambil menikmati kopi dinginnya malam ini sambil menatap mereka yang tertawa, aku tidak ingin terlena dalam diam. Diam ku untuk berfikir bukan untuk menjatuhkan sahabat – sahabat ku.


Akhirnya aku melangkah menghampiri mereka dan berbagi tawa lagi. Ketika kopi ini kita nikmati bersama. Maka akan terasa nikmat meskipun aku bilang tadi bahwa kopinya tidak enak.
Malam ini aku belajar dari kopi.


november 2010

No comments:

Post a Comment