Kamu
yang telah menemani saya tumbuh.
Tumbuh
dewasa, mungkin jari-jari saya, otak saya, hati saya sudah tidak tahan lagi
untuk menulisi mu, seperti lalu-lalu, kamu selalu menjelma menjadi setiap huruf
yang saya tulis, kamu adalah bagian dalam setiap spasi kalimat saya.
Dan
sekian lama rasanya hati saya selalu menjadikan dirimu sandaran, untuk semua
bahagia dan kesakitan saya, bertahun-tahun.
Dan
semua kata-kata bullshit saya yang
bilang; saya mengikhlaskan mu.
Semua
sakit didalam hati saya karena merasa sudah melupakan mu, padahal BELUM.
Hingga
malam itu, kamu tiba lagi, masih saya ingat jelas, kamu yang mengintip didalam
helm mu, kamu yang memandang saya mendekati mu.
Kamu masih sama. Saya masih sama.
Dan
menu malam itu masih sama: Kopi, Roti bakar, Pemilihan Presiden, BBM, Film,
Politik, Reformasi, dan Indonesia.
...
Saya Bahagia bersama mu. Selalu bahagia.
Jam
4 Pagi, selepas diskusi yang panjang, obrolan yang hangat, dan senyum yang
tulus kita menutup malam itu. Kamu mengantarkan saya pulang.
Saat
kau sudah tidak ada lagi didepan mata saya, entah kenapa saya tidak sanggup
menahan air mata saya untuk tidak mengalir.
Saya
tersenyum, lalu saya menangis.
Saya
menyadari banyak hal, bertahun-tahun kemarin kamu tidak pernah pergi dari dalam
hati saya, saya begitu tolol membiarkan orang lain masuk kedalam hidup
sementara kamu masih ada disana, dalam hati saya penuh.
Ah,
padamu saya belajar banyak hal, saya tidak bisa memungkiri jika dimalam itu
saya merasa menememukan lagi senyum saya yang paling tulus, di malam itu saya
merasa bahwa saya masih sama seperti enam tahun yang lalu. Dan juga perasaan saya, tapi saya pun tersadar bahwa kadang ada
orang yang datang didalam hidup kita tak selamanya ada disamping kita, dan
kadang apa yang kita inginkan belum tentu akan kita miliki
Saya
sombong bertahun-tahun kemarin, sombong dengan menjadikan mu pelarian untuk
semua kesalahan saya, saya begitu angkuh mengakui bahwa saya hanya butuh kamu. Saya
terlalu rapuh untuk mengakui bahwa saya tidak ingin melepaskan mu.
Saya
bersembunyi. Dan saya tidak baik-baik saja.
Tapi
waktu membuat saya belajar, apa yang bisa kita miliki dan tidak. Apa yang harus
kita relakan, memang tak mudah tapi semua keluar, saya tidak bisa lagi bicara,
malam itu saya hanya menangis.
Saya
hanya menangis sambil berandai-andai, andai saya adalah perempuan yang kamu
pilih, andai saya mampu berjuang lagi dan kamu akan memperjuangkan saya.
Malam itu saya pun tersadar, kamu sudah benar-benar pergi.
Tapi
itu semua tidak ada artinya, malam itu menjawab semua hal, saya rindu diri saya
yang lalu, saya rindu tawa saya ketika bersama mu, dan saya telah keterlaluan
mencintaimu, maka tiba-tiba saya berhenti. saya malu pada diri saya, yang bahkan lebbih mencintaimu melebihi apapun. maka saya bersujud untuk Tuhan saya, mengakui malu saya, mengakui sombong saya.
Dan menyadari bahwa Tuhan menyayangi saya dengan memberikan mu didalam hidup saya, agar kamu mengantarkan saya pada banyak hal.
Kamu
masih sama dimata saya, saya harap kamu pun merasakan hal yang sama juga, tapi pada
akhirnya, saya harus sadar dan saya telah menyadari semua hal yang terjadi
bertahun-tahun ini. Saya sadar, waktu saya dengan mu telah usai.
Cinta adalah persoalan kesadaran. menerima setiap cerita yang ada dihidup saya, termasuk kamu.
Berbahagaialah
atas hidup mu, terima kasih telah menyisipkan saya disebagian kecil hati mu,
dan terima kasih telah menemani hari-hari saya.
Sampai
jumpa lagi, diatas cangkir kopi kita untuk saling berbicara kegelisahan yang
ada diotak kita.
Malam
itu, saya menyadari artinya keikhlasaan
Malam
itu, saya menyadari artinya cinta.
Malam itu, saya mengenal lagi Tuhan.
Terima
kasih untuk malam itu, teman ku yang baik.
dan Tuhan begitu baik menutup cerita kita dengan indah.
...aku kini sudah bisa tersenyum saat mengingat mu.
Yogyakarta, 08 April 2015
(tersenyum
mengingat lebak bulus – lenteng agung, malam itu)