Thursday, April 16, 2015

Waktu, kau pergi.

"Ya sudahlah, biar saja waktu yang menjawab" 
Menurut teman saya. 

Tapi saya tidak sependapat.
Buat saya. Waktu tidak akan memberi jawaban apapun. Buat saya waktu tidak akan menyembuhkan apapun, waktu tidak akan mengobati apapun, waktu pun tidak akan menghilangkan perasaan apapun. 

Jika didalam hati mu ada cinta, cinta itu akan tetap di hati mu, selama apapun yang dia mau. 
Jika didalam hati mu ada luka, luka itu tetap akan ada dirimu, sekuat apapun yang dia mau. 
Waktu tidak merubah itu semua. 
Tapi, waktu membuat kita tumbuh, waktu membuat kita melihat, apa yang kemarin tidak kita lihat, maka waktu membuat kita merasakan apa yang tidak kita duga. 

Waktu membuat kita berbesar hati, waktu mengajari kita tentang ikhlas karena waktu membimbing kita untuk bersabar.

Luka mu tetap ada disana, tapi waktu membuat dirimu menikmati bahagia mu dibanding meratapi kesakitan mu. 


Ini bukan perkara waktu, tapi soal diri mu sendiri.  Aku. 




Kau sudah pergi..??

Aku belum berhenti menangis.



Wednesday, April 8, 2015

Masih di jam lima sore.

Percayalah, saat kamu telah berhasil menutup cerita yang lalu, saat itu hati mu sudah siap untuk menerima cerita yang baru.
Tulislah apa yang ingin kamu tulis, ucapkan apa yang kamu ingin sampaikan. Terima apa yang kamu rasakan didalam hati mu.
God Is Good.
Kita akan terus belajar, pada semua kesakitan, semua senyum dan semua perasaan didalam hati.
Dan selesaikan lah cerita baru mu sampai tuntas.
Dengan mu, aku belajar satu hal lagi.
... semua butuh waktu.

Untuk cerita baru ku, yang sedang lelap.
Satu pertanyaan yang tak mampu ku jawab.  
“mengapa cerita yang baru itu kamu...?”




Menutup 2009

Kamu yang telah menemani saya tumbuh.
Tumbuh dewasa, mungkin jari-jari saya, otak saya, hati saya sudah tidak tahan lagi untuk menulisi mu, seperti lalu-lalu, kamu selalu menjelma menjadi setiap huruf yang saya tulis, kamu adalah bagian dalam setiap spasi kalimat saya.

Dan sekian lama rasanya hati saya selalu menjadikan dirimu sandaran, untuk semua bahagia dan kesakitan saya, bertahun-tahun.

Dan semua kata-kata bullshit saya yang bilang; saya mengikhlaskan mu.
Semua sakit didalam hati saya karena merasa sudah melupakan mu, padahal BELUM.

Hingga malam itu, kamu tiba lagi, masih saya ingat jelas, kamu yang mengintip didalam helm mu, kamu yang memandang saya mendekati mu.
Kamu masih sama. Saya masih sama.  
Dan menu malam itu masih sama: Kopi, Roti bakar, Pemilihan Presiden, BBM, Film, Politik, Reformasi, dan Indonesia.

... Saya Bahagia bersama mu. Selalu bahagia.
Jam 4 Pagi, selepas diskusi yang panjang, obrolan yang hangat, dan senyum yang tulus kita menutup malam itu. Kamu mengantarkan saya pulang.

Saat kau sudah tidak ada lagi didepan mata saya, entah kenapa saya tidak sanggup menahan air mata saya untuk tidak mengalir.
Saya tersenyum, lalu saya menangis.

Saya menyadari banyak hal, bertahun-tahun kemarin kamu tidak pernah pergi dari dalam hati saya, saya begitu tolol membiarkan orang lain masuk kedalam hidup sementara kamu masih ada disana, dalam hati saya penuh.

Ah, padamu saya belajar banyak hal, saya tidak bisa memungkiri jika dimalam itu saya merasa menememukan lagi senyum saya yang paling tulus, di malam itu saya merasa bahwa saya masih sama seperti enam tahun yang lalu. Dan juga perasaan saya, tapi saya pun tersadar bahwa kadang ada orang yang datang didalam hidup kita tak selamanya ada disamping kita, dan kadang apa yang kita inginkan belum tentu akan kita miliki

Saya sombong bertahun-tahun kemarin, sombong dengan menjadikan mu pelarian untuk semua kesalahan saya, saya begitu angkuh mengakui bahwa saya hanya butuh kamu. Saya terlalu rapuh untuk mengakui bahwa saya tidak ingin melepaskan mu.

Saya bersembunyi. Dan saya tidak baik-baik saja.

Tapi waktu membuat saya belajar, apa yang bisa kita miliki dan tidak. Apa yang harus kita relakan, memang tak mudah tapi semua keluar, saya tidak bisa lagi bicara, malam itu saya hanya menangis.

Saya hanya menangis sambil berandai-andai, andai saya adalah perempuan yang kamu pilih, andai saya mampu berjuang lagi dan kamu akan memperjuangkan saya.
Malam itu saya pun tersadar, kamu sudah benar-benar pergi.

Tapi itu semua tidak ada artinya, malam itu menjawab semua hal, saya rindu diri saya yang lalu, saya rindu tawa saya ketika bersama mu, dan saya telah keterlaluan mencintaimu, maka tiba-tiba saya berhenti. saya malu pada diri saya, yang bahkan lebbih mencintaimu melebihi apapun. maka saya bersujud untuk Tuhan saya, mengakui malu saya, mengakui sombong saya. 
Dan menyadari bahwa Tuhan menyayangi saya dengan memberikan mu didalam hidup saya, agar kamu mengantarkan saya pada banyak hal. 
  
Kamu masih sama dimata saya, saya harap kamu pun merasakan hal yang sama juga, tapi pada akhirnya, saya harus sadar dan saya telah menyadari semua hal yang terjadi bertahun-tahun ini. Saya sadar, waktu saya dengan mu telah usai.

Cinta adalah persoalan kesadaran. menerima setiap cerita yang ada dihidup saya, termasuk kamu. 

Berbahagaialah atas hidup mu, terima kasih telah menyisipkan saya disebagian kecil hati mu, dan terima kasih telah menemani hari-hari saya.

Sampai jumpa lagi, diatas cangkir kopi kita untuk saling berbicara kegelisahan yang ada diotak kita.

Malam itu, saya menyadari artinya keikhlasaan
Malam itu, saya menyadari artinya cinta.
Malam itu, saya mengenal lagi Tuhan. 

Terima kasih untuk malam itu, teman ku yang baik. 
dan Tuhan begitu baik menutup cerita kita dengan indah. 

...aku kini sudah bisa tersenyum saat mengingat mu.



Yogyakarta, 08 April 2015

(tersenyum mengingat lebak bulus – lenteng agung, malam itu)

Adore you

Tidak pernah sekosong ini rasanya.
Memandang pekerjaan yang menumpuk.
Tumpukan puntung rokok.
Tarot deck yang selesai dibaca dan belum dikembalikan ke kotaknya.
Tidak pernah sekosong ini. Rasanya.
Bukan tentang akan hidup bersama siapa, hati ini milik siapa, atau nafas ini untuk siapa.
Tidak pernah sekosong ini. Rasanya. Cinta datang dan pergi.
Teman dekat satu satu luluh lantak.
Membuka tulisan lama.
Bukankah hidup itu adalah belajar kesendirian.
Ah,naif.
Maaf, aku terlena ada kau disamping ku kemarin, aku terlena berharap aku selalu punya teman.
Mungkin aku maniac.
Mungkin, gulungan asap rokok ini hanya isyarat, ketika diantara jari tengah dan telunjuk ada kau menyusup disana.
Sudah sore, yang manis.
Jangan sebut senja, aku sudah alergi.
Tak pernah sore sekosong ini. Rasanya.
Ah…. Sore.



_____Tulisan lama. 

Monday, April 6, 2015

Jam Lima Sore.

Ulangi aku, satu hari lagi. 



16.45

Lekas, kau mencium kening ku terburu-buru.  Aku masih lekat  menatap mata mu, kau sesegera mungkin meraih kopi mu dari meja didepan ku. Bahkan kopi pun kau ambil, Hei, aku telah mencampur sesondok rindu ku didalam sana. Semoga kau selalu ingat. Gerimis masih merintik deras, aku menahan pelan-pelan agar air di mata ku tidak menggenang.

“kau baru saja tiba”  ku bilang

Kau diam saja.
Lima menit kita lalui dalam diam saja. Tapi aku sibuk didalam kepala ku. Makanya bibir ku diam saja.
Aku sudah tahu, kau harus cepat-cepat pergi, tapi aku belum bisa terima, setidaknya untuk hari ini.
Jangan genggam tangan ku, cepat-cepat pergi, sebelum aku menghancurkan semuanya.
Mengancurkan hidup mu,  meleburkan alur hidupmu.
Biarkan aku ada disini sendiri saja. Meyakini yang aku percaya, tentang hati yang aku tak tahu sampai dimana akhirnya tujuan kita, tujuan ku.

“Maaf aku baru tiba dan harus pergi lagi..”
Stasiun ini pun terasa sepi, Rel besi tetibaan berkarat, suara deru lokomotif berdenyit antara hujan.

Tiba-tiba, kau pun lenyap. Dibawa kereta sore melebur dengan asap seolah tanpa sisa, kau hilang, membuatku tahu bahwa kau seperti tak pernah ada. Kau kembali bersembunyi di kereta pukul 17.00 dan aku tetap saja percaya, kau tidak akan pergi.



Pukul 17.00
Yogyakarta, 6 April 2015



Jangan lupa membawa rindu saat kau berkemas pergi..

Sebuah Sunrise.

Di sebuah kota, kala kita larut.  Berjalan setapak, bersama, tanpa terasa seluruh cerita memaksa untuk jadi kenangan.

Di antara pasir, ombak yang berganti, sorot lampu jauh motor dan mobil, udara menyengat, bau kopi, asap rokok, hutan pinus, padang rumput, danau yang tenang, kerlip binar liar kota, rintik hujan, tatapan mu... cinta buta.

Mata ku jatuh didalam pandang mu. Menatap mu dari kejauhan.

Tuhan mungkin ingin bilang padaku : Ini yang disebut bahagia. Tapi menjauhlah, karena ini bukan bahagiamu.
Maka, demi seluruh Malaikat, aku ingin melepaskan hati, hati yang begitu kuat menggenggam erat, bahagia yang begitu hangat.

Sunrise itu. masih terbit, kita sama-sama gelap, lalu menjadi makin hangat dan terik menghantarkan mata kita tersadar.

Kau, adalah yang terbaik. Seperti dalam mencintai, mengikhlaskan adalah yang paling baik, ketika kau tahu; yang kau genggam adalah bukan hak mu, maka menjauhlah.



Yogyakarta, 22 Maret 2015

Selamat tidur, kau... 

Mirip Gila

Ruangan ini sangat dingin, samar dibalik proyektor, ku lihat wajah mu, wajah yang menyebalkan makin mengeras di ingatan. 
Aku mirip gila. 


Mungkin saja, dunia ini sudah gila. 
Seperti kita yang mirip gila. 
Atau kita adalah bagian paling gila dari kegilaan manusia. 
Atau kita adalah cerita paling normal dari kegilaan dunia. 


Aku melipat memori dibalik jaket hijau. Udara dingin, perjamuan malam, semua orang makan daging yang dibakar, ukuran besar, harum menyeruak, tertawa cantik penuh pesona didalam bibir. Tapi aku melipat memori, semua yang memutar, kala sakit ku kambuh, rindu. 

Entah sedang dimana kau berada, matamu tak sedetik pun berlari dari ponselmu. Katamu; bagaimana bisa aku melupakan orang yang membuat ku jatuh cinta dua kali. Kau senyum sendiri. Kau mirip gila. 


Rindu itu bagai racun yang tepat menyerangku, membalikan isi hati ku, mengoyahkan pikiran ku dan sedetik ku sadari, rindu terlalu lelah mampir didalam selaput otak ku, rindu terlalu lelah menyiksa ku untuk terus-terusan melankolis. 

Kamu pun tiba, dengan ransel hitam mu, duduk disampingku, meletakkan ransel mu dibawah kursi mu. 

"Kau terlambat" ku bilang 
"Ayo kita pergi dari sini" kata mu berbisik. 

Aku pun melangkah keluar, menjauhi mereka, tanpa berpamitan. Kau mengikuti ku dari belakang. 


"Apa kabar mu" kau bilang 
"Great..." 
Kau tersenyum. 
Mengambil sebatang rokok mu, aku merebut rokok dari jari tangan mu, kau tertawa. 
"Tak berubah" 
"Tak ada yang harus berubah..." Ku bilang
Apa sudah jadi kebiasaan jika mencintai itu jadi menggilai. Seperti siang ini; aku sudah gila karena mencintaimu. Atau cinta adalah definisi dari kegilaan yang dianggap normal.  
Malam ini semakin dingin, kau. 
Aku dan kau di teras restaurant, pengunjung masuk lalu beberapa keluar, wajah mereka bahagia, aku tak yakin mereka benar-benar lapar, mereka hanya menikmati suasana makanan mahal ini. Tata ruang yang romantis, lawas. Romantis kini mahal harganya, saat semua sudah berlalu dan menjadi lawas. 
Bukankah seperti itu hakikatnya kenangan? 

"Aku sudah dengar semuanya" 
"Apa ada bagian yang tertinggal...?" 
Kau coba menjelaskan 

"Tidak" 
Aku menghabiskan rokok ku, yang sebenarnya adalah rokok mu.

Rindu membuat kita pun makin sama - sama mirip gila.


Gelombang

Kata yang tak berani ku tulis, nama yang tak bisa ku ucap, teduh yang membakar; Kau
Dan bagaimana bisa tetibaan matahari merintik air mata.
Kala itu, jumpa kita usai.
Dengan mu, aku mengawali yang kau akhiri.
Dan, aku ini serigala perempuan, kau bilang.
Yang merintih karena terbakar api kecil.
Seadainya saja, masing masing kita, tak angkuh merangkul cinta.





Situ Lembang, Suatu Hari Didalam Hati. 

Wednesday, April 1, 2015

Rindu datang untuk melemahkan otak

Sebuah tulisan yang terinspirasi dari lagu ini.

Gagal Bersembunyi – The Rain

Hei, apa kabar kamu jauh disana..?

..... Cerita yang pernah kita upayakan.
..... Ku pikir aku berhasil melupakan mu.
..... Padahal hancur lebur harapan, yang terlanjur ku percaya.
..... Kau tau aku merelakan mu, aku cuma rindu.
..... Tak akan mencoba tuk merebut mu, aku cuma rindu.


Rindu datang untuk melemahkan otak.
Melemahkan tubuh saya. 
Selepas terapi kemarin, saya harus bisa mulai untuk jujur pada diri saya sendiri, untuk bilang : saya sedih, saya lelah, dan saya harus bisa berhenti sok kuat dan sok tegar.

Dan saya membebaskan emosi saya agar tidak terus membebani tubuh saya, ah tubuh ini mulai manja, dan saya mulai lemah.

Jika sudah mulai mengantuk maka saya harus tidur, jika sudah mulai letih saya harus berhenti dan istirahat, demi tubuh kesayangan saya ini.

Tapi bagaimana jika yang ada di hati saya ini, rindu.
Saya harus apa..?

Saya tidak ingin bermanja pada rindu, saya tidak ingin mengikuti rindu, biar saya simpan hati saya dipojok ruang, sampai berlumut, saya tidak ingin mendekat, saya tidak ingin mendengar, saya tidak ingin bicara. 

Dan saya tidak ingin kamu tahu, rindu ini begitu besar memaksa saya, menangis.
Rindu ini memaksa saya pula untuk diam saja, karena aku cuma rindu.
.....  Tetap indah bagi ku
.....  Semoga juga bagi mu


Yogyakarta, 31 Maret 2015