Wednesday, April 8, 2015

Menutup 2009

Kamu yang telah menemani saya tumbuh.
Tumbuh dewasa, mungkin jari-jari saya, otak saya, hati saya sudah tidak tahan lagi untuk menulisi mu, seperti lalu-lalu, kamu selalu menjelma menjadi setiap huruf yang saya tulis, kamu adalah bagian dalam setiap spasi kalimat saya.

Dan sekian lama rasanya hati saya selalu menjadikan dirimu sandaran, untuk semua bahagia dan kesakitan saya, bertahun-tahun.

Dan semua kata-kata bullshit saya yang bilang; saya mengikhlaskan mu.
Semua sakit didalam hati saya karena merasa sudah melupakan mu, padahal BELUM.

Hingga malam itu, kamu tiba lagi, masih saya ingat jelas, kamu yang mengintip didalam helm mu, kamu yang memandang saya mendekati mu.
Kamu masih sama. Saya masih sama.  
Dan menu malam itu masih sama: Kopi, Roti bakar, Pemilihan Presiden, BBM, Film, Politik, Reformasi, dan Indonesia.

... Saya Bahagia bersama mu. Selalu bahagia.
Jam 4 Pagi, selepas diskusi yang panjang, obrolan yang hangat, dan senyum yang tulus kita menutup malam itu. Kamu mengantarkan saya pulang.

Saat kau sudah tidak ada lagi didepan mata saya, entah kenapa saya tidak sanggup menahan air mata saya untuk tidak mengalir.
Saya tersenyum, lalu saya menangis.

Saya menyadari banyak hal, bertahun-tahun kemarin kamu tidak pernah pergi dari dalam hati saya, saya begitu tolol membiarkan orang lain masuk kedalam hidup sementara kamu masih ada disana, dalam hati saya penuh.

Ah, padamu saya belajar banyak hal, saya tidak bisa memungkiri jika dimalam itu saya merasa menememukan lagi senyum saya yang paling tulus, di malam itu saya merasa bahwa saya masih sama seperti enam tahun yang lalu. Dan juga perasaan saya, tapi saya pun tersadar bahwa kadang ada orang yang datang didalam hidup kita tak selamanya ada disamping kita, dan kadang apa yang kita inginkan belum tentu akan kita miliki

Saya sombong bertahun-tahun kemarin, sombong dengan menjadikan mu pelarian untuk semua kesalahan saya, saya begitu angkuh mengakui bahwa saya hanya butuh kamu. Saya terlalu rapuh untuk mengakui bahwa saya tidak ingin melepaskan mu.

Saya bersembunyi. Dan saya tidak baik-baik saja.

Tapi waktu membuat saya belajar, apa yang bisa kita miliki dan tidak. Apa yang harus kita relakan, memang tak mudah tapi semua keluar, saya tidak bisa lagi bicara, malam itu saya hanya menangis.

Saya hanya menangis sambil berandai-andai, andai saya adalah perempuan yang kamu pilih, andai saya mampu berjuang lagi dan kamu akan memperjuangkan saya.
Malam itu saya pun tersadar, kamu sudah benar-benar pergi.

Tapi itu semua tidak ada artinya, malam itu menjawab semua hal, saya rindu diri saya yang lalu, saya rindu tawa saya ketika bersama mu, dan saya telah keterlaluan mencintaimu, maka tiba-tiba saya berhenti. saya malu pada diri saya, yang bahkan lebbih mencintaimu melebihi apapun. maka saya bersujud untuk Tuhan saya, mengakui malu saya, mengakui sombong saya. 
Dan menyadari bahwa Tuhan menyayangi saya dengan memberikan mu didalam hidup saya, agar kamu mengantarkan saya pada banyak hal. 
  
Kamu masih sama dimata saya, saya harap kamu pun merasakan hal yang sama juga, tapi pada akhirnya, saya harus sadar dan saya telah menyadari semua hal yang terjadi bertahun-tahun ini. Saya sadar, waktu saya dengan mu telah usai.

Cinta adalah persoalan kesadaran. menerima setiap cerita yang ada dihidup saya, termasuk kamu. 

Berbahagaialah atas hidup mu, terima kasih telah menyisipkan saya disebagian kecil hati mu, dan terima kasih telah menemani hari-hari saya.

Sampai jumpa lagi, diatas cangkir kopi kita untuk saling berbicara kegelisahan yang ada diotak kita.

Malam itu, saya menyadari artinya keikhlasaan
Malam itu, saya menyadari artinya cinta.
Malam itu, saya mengenal lagi Tuhan. 

Terima kasih untuk malam itu, teman ku yang baik. 
dan Tuhan begitu baik menutup cerita kita dengan indah. 

...aku kini sudah bisa tersenyum saat mengingat mu.



Yogyakarta, 08 April 2015

(tersenyum mengingat lebak bulus – lenteng agung, malam itu)

No comments:

Post a Comment