Friday, June 16, 2017

Memori





Aku sedang mengumpulkan lagi memori yang mulai pudar;
garis wajahmu
suara minor
mata layu
umpatan sampah .

Selanjutnya 

Aku mulai memungut lagi yang tak sengaja terlupa ;
tawa renyah
lelucon riang
pelukan hangat
kalimat cinta
.
.
Lalu aku mulai bertanya pada ingatan yang mengingatkan
sudahkah mereka berkemas pergi ?
satu persatu mulai bunuh diri
membunuh apa yang bisa ku ingat tentang kau 

Aku ingin juga tak ingin
aku mau juga tak mau

aku bertanya, bertanya lagi ;
tentang kata - kata yang tak bisa ku ungkap 
- dan mimpi yang terlupa saat ku bangun

bisakah aku lupa padamu?
melupakan atau kau terlupakan? 

Secepat itu kita menjadi sendu
jika begitu, mengapa aku masih rindu
lalu mengapa dada ku tak hilang penuh ? 

Ada yang mulai luluh di kepalaku,
kamu dan memori ;
yang memudar tapi juga membatu.

(yang jauh terbang kesana, Juni di Doa) 








Sesekali



Jika rindu itu jahat
bolehkah aku mengurungnya dalam sebait puisi
yang ku sembunyikan dalam kalimat pujian
agar ia melunak .

Jika rindu itu kejam
bolehkah aku mengikatnya dalam selembar puisi
yang ku rapalkan dalam mantra dan doa
agar ia teduh .

Jika rindu itu pilu
maka izinkan aku menemuimu di tiap puisi
ia akan menenangkan
meski berbatasan ilusi ;
Jika Rindu, pasti itu kamu .



(sudah malam, di Juni) .

JEDA



INI adalah surat cinta.
cinta diam - diam. 
untuk kamu yang bisa membaca tanpa bisa menerjemahkan.

ini untuk mu. 
yang ku doakan dari siang hingga petang sampai malam lalu datang pagi, lagi dan lagi. 

ini surat cinta tentang sebuah sungai.
dimana mengalir dari hulu ke hilir lalu ke pantai hingga sampai ke samudera,
tapi aku adalah kebalikan.

ini tentang bagaimana sesuatu yang anomali 
menjadi sesuatu yang dimengerti tanpa dipahami. .

ini surat cinta atas nama praduga.
tentang kau dan melepaskan.
melepaskan sesuatu yang tidak benar - benar pernah digenggam.
dan ini tentang kerinduan.
kerinduan pada alasan alasan yang meragukan.
meragukan bidang yang kosong dengan segala pertanyaan 
yang mulai habis tanpa terjawab. .

ini tentang entah apa. .

tidak tentang apa-apa, kecuali hati yang penuh 
sementara langit mulai kosong kehilangan doa.
yang sudah tak dipedulikan.

INI tentang kita yang alpa untuk bangun disepertiga malam. 

(Juni dan Rindu)

Thursday, June 1, 2017

Seporsi Ayam Betutu yang tak sempat ku pesan


Tadinya, aku ingin makan bersamamu,
menebus segala hutang rasa yang tertimbun di antara waktu dan ketidakberdayaan
lalu - lalu

Tapi rupanya ;
Kita terlanjur lupa perihal makan bersama yang romantis
kita, asyik pada jumpa singkat sebagai syarat

atau mungkin,
tidak semua hal harus tentang ku, bukan?
;
bisa saja, kau tak rindu, kau tak perlu, kau tak ingin
atau mungkin,
aku ini yang terlalu suka berharap

aku ini bukanlah segalanya
aku ini pun mulai ketus pada hidangan yang disajikan
aku ini, terlalu dalam

karena
tanpa sadar
kita telah membangun ruang masing-masing;
yang diciptakan dari jarak tak terbayarkan, tangis-tangis rindu yang kita telan sendirian,
dan pertanyaan yang terjawab dengan perlahan tanpa kita saling pertanyakan

aku begini begitu saja
tertawai aku dengan caramu
seperti biasa
;
asal kau jangan sakit
asal kau tak terluka
asal kau besar hati
asal kau bersabar
asal kau tak mengeluh
asal kau tak berpeluh

secepatnya kita akan berjumpa lagi;
di ruang makan rumah (kita) ;
dimana kita telah sama-sama lapar
dimana kita telah butuh lagi energi
duduk berdua lagi;
menikmati seporsi ayam betutu yang kemarin tak sempat kau bawakan
atau sekiranya
apa saja yang akan kau hidangkan
sesuai porsi.
kata mu, sekarang.


di waktu itu menjadi penanda bahwa diantara sebelum dan sesudah, 
kau tetap keduanya.. 



Bandara, Yogyakarta.
29 Mei. 
Penanda 


Ramadhan 1438 H


MENULIS(i-si) MONYET


Di sini, duduk meneguk es kopi karamel, melihatmu, memandangmu ngedumel. Rambut bergelombang tanpa ombak, ditengah kesunyian beriak. 
Terserah, itu katamu tanpa arah.
 Kebisingan mu fana jadi nyata namun nirmakna.

Bahwa sebenarnya adalah kau seumpama katamu sendiri, kepala mu yang bawel berteriak - teriak untuk egomu sendiri. Karena yang kau lihat adalah mencoba melihatku. 
Lalu bagaimana dengan hal-hal yang memaksa untuk membangunkan mu tapi kau tetap tak ingin.

Karena jangan terlalu banyak kopi - lagi dengan karamel, 
kau akan tertutup manis sebentar - lalu palsu.
Ah kopi.


Kamu tahu?
Seribu cangkir kopi pun tak akan melukaimu, lebih dari satu kaktus yang kau sentuh lalu nikmati aliran darahmu. 
Darah itu, jauh dari simbol kepalsuan, kepalsuan yang kau bungkus dengan perekat bernama senyuman.

Apa kita harus menunggu lebih lama tanpa rasa ?
Apa kita harus menanti lebih jauh tanpa arti?
Apa yang kau tunggu ?
Apa yang kau nanti ?

Sudahlah, hangatkan saja perekat itu hingga meleleh, 
hingga tertetes ke telapak kita.
Kepalsuan hangat di atas telapak, merubahnya menjadi nyata;
genggaman kita akan impian yang sama,
meski memang rute yang ditempuh tidaklah sama.

Kopi - Kaktus - Jarak
semua orang berkata begitu ..


Lalu kau akan sebut malam, senja, pagi dan segala keteraturan semesta yang kau buat acak di kepalamu.
Urailah - satu persatu tentang timur dan barat - 
dan nama nama lain dari arah mata angin, titik bintang utara 
atau segala bayangan bulan.
detik mu terus berjalan - 
semesta mu tetap menyala meski kau - 
kita semua, sebentar lagi padam.

Dan kemudian kau bakar sebatang guling tembakau.
Asap memelukmu hingga akhirnya benar - benar lenyap bersama padamnya nyala api.
Api meluap tak beraturan layaknya ego dan segala pikirmu itu padam, sementara. 

Dalam kesementaraan kita terdiam, menyadari bisikan alam seakan adanya perpisahan.
Orang bilang, perpisahan adalah jarak.
Perpisahan adalah kerelaan untuk bertemunya kembali jiwa dengan kekosongan,
itu kata ku.

Lantas, apa katamu untuk deskripsikan perpisahan?

Karena sejatinya perpisahan bukan tentang jarak dan jauhnya dua tubuh -
tetapi logika, rasa dan tubuh dalam kita masing-masing yang tidak menyatu.


Maka berpisahlah kita pada hakikat semesta. 
Yang hidup seolah mati.





 (ditulis;  jauh sebelum Ramadhan - Bersama Rudi si Monyet

KAU ADALAH PENGETAHUAN DARI YANG TAK KU KETAHUI


Kekasih.
;
Jangan pulang terlalu lama ;
Rindu semakin terik,
lekas ;
aku ingin berlindung;
di dalam hati mu.
.
.
Kekasih, legam tangannya menggenggam.
Tak perlu erat-erat, kita tak akan meledak.
Iringilah saja, karena asmara bukan amarah
;
Kekasih, yang menunggu di balik rindang
;
Ia bilang;
Kita ini manusia
yang baik
yang buruk
akan selalu tumbuh,
saling memupuk
saling memeluk ;
maka itu kita tahu, bahwa kita tak pernah tahu,

bagaimana cinta bisa begitu meneduhkan.




(ditulis: menuju pertemuan di Juni)

TAK PERLU MENUNGGU AGUSTUS


Sebelum Juni tiba
dimana nanti langit menjadi tempat terbaik menyimpan doa
akankah ia berubah jadi butir gerimis
yang membasahi halaman kita.
- hati yang kita sebut rumah.

Selepas Juni, sore itu kau duduk sendiri - mungkin tanpa kopi, tanpa teh dan tanpa ampas yang sudah lalu.
Aku serupa doa meneduhkan mu kala hari mu terlalu terik.
Doa itu seraya awan yang bebas kau bentuk dari apa yang kita sepakati
Doa itu penenang untuk gemuruh yang kita
khawatirkan atas apa yang diikrarkan

Disebelum Juni, aku yang meminta mu sementara
Tak berani sampai nanti di Juni, semoga semesta menyertai kita
selamanya

kini aku bertaruh pada langit, menyerahkan hati meletakan mimpi.
melipatnya baik-baik

sampai nanti jumpa di Juni
tempat ku meletakkan mu
kita mencatat buku-buku atas nama kita
yang ku tuju dari jauh hari

Cinta, dan seikat senyum mu... 



(ditulis di akhir Mei)


Pulang

Bara, aku sudah kembali pulang.
aku yang telah hampir melupakanmu
Kau sudah boleh marah
tapi aku tahu kau tak akan

Bara, lalu aku mencarimu
kebingungan
ke setiap jumpa yang sudah kita saling lupa
bertahun ini saling bisu ; mungkin kita mencoba melupakan pilu

Bara, rindu ini harus pada siapa ku tebus
mungkinkah kita adalah jiwa yang selalu lari tanpa tubuh
meski butuh
;
Lalu harus dimana ku cari kau?
Di bawah salib ke arah pantai di selatankah?
waktu kita menangis, berdua saja.
tanpa Tuhan

Di altar penuh bunga lili dan kamboja
saat kita kencan diam-diam
di kematian.
;
Atau di ruang ungu, rumah kita berteduh?
berdua, dengan Tuhan

Lalu,
harus dimana ku mengadu pada malaikat
bahwa rindu itu pilu tanpa ada yang dituju

Lalu,
Kau dimanakah saat kini ku pulang?
Benarkah tanah ini masih rumah kita?

Lalu,
untuk apa semua tulisan ku tentang kau?
karena aku tahu, kertas tak akan bisa membungkus api.
Bara, selalu membakar lagi.


Mei, 2017

SIMPAN DI KEPALA


SIMPAN kebingungan ku mencari tempat kembali.
semua yang ku kenali, ku baui, dan ku rapalkan.
tiba-tiba berganti wujud.
yang penuh bahwa denganmu lah dimana pun bahagia ku berada.
tapi mungkin dengan segala drama dan keberanian yang surut, aku ingin menyudahinya sekali ini.
DI tiap kebodohan mu adalah kejutan manis.
arus yang tenang, kita menggubah arah. 
merubah peluk ku tak lagi jadi hangat tapi salam pisah dari jauh.

KEPALA kita tiba di yang rumit kita selalu berkelit.
ternyata cinta tak semudah itu diungkap.
entah sedalam apa disana.
sampai waktunya lagi kita jumpa di hulu.
maka sampai pula di samudera.
kala itu, kita sudah mengendalikan sampan kita masing - masing.
menuju mu pulau yang dibatasi selat.
Sulit.


yogya, 20 Mei 2017

Lifting Mannequin 2


Di suatu pura-pura sepi, Yang Kita Tahu menciptakan makam kosong, diisi dengan jutaan kalsium terbang-terbang, magnesium saling mengikat, oksigen untuk kau napas, dan sejumput cinta.
- katanya; yang subur maka makmur , yang gembur maka jangan takabur.
dan cinta yang hanya seujung sendok kopi pun berevolusi - diam diam mencuri peran, tak terelakan bahwa curi mencuri sudah menjadi ciri, cinta yang sejumput itu mencari bentuk, berebut wujud; Berjayalah, Kayalah, Makmurlah,  Sejahteralah, Damailah, Cintailah dan Kotoran - Kotoran mulut berhamburan.
Ini cuma perkara lupa dari mana si bentuk datang, yang alpa untuk telanjang. atau alpa untuk memiliki malu.
tak tahu dimana lagi batasan. sampai nanti semua melebur lagi tanpa bentuk.
Di padang, entah berantah.
Ragukah?
Mengapa?

Sejumput jari sekarang sudah setumpuk;
Kalsium jadi lembek, yang disebut tanah jadi lumpur, hujan pun amoniak.
Tak bisa lagi punya beda mana yang harus dikoarkan mana yang disimpan rapat-rapat.
Pada dasarnya mungkin harusnya ada tiga bentuk; yang telanjang di depan malu, yang telanjang pada yang terikat dan yang telanjang tanpa menelanjangi..
Si bentuk lagi - lagi alpa, bahwa sebagai penghuni kedua, bukanlah bisa tinggal tapi hanya numpang peran.

Namanya juga dalang

Ah!


Aku memungut lagi tawa yang berserakan 
karena tak berani berani merindu
mengemas didalam hati


Jauh di seberang, Padang.

Cinta adalah perkara doa


Titip saja di langit, biar lebih dekat dengan doa
Lalu sekarang; Apakah langit terlalu banyak menyimpan doa omong kosong
Yang lupa untuk di hujani?

Dimana yang biru?
Sudah pindah ke hatimu kah?


(18 May 2017 – Yogyakarta) 

Ziarah

Karena perkara kematian itu romantis.
Seketika kita intim pada do'a
Bersimpuh, meminta;
Jangan sampai ada rindu terlupa.

Lalu ada yang menangis;
Entah karena mereka
Atau neraka.

Ah!


(Taman Prasasti)  

Padahal, Kamu adalah puisi tanpa kata

Aku ingin menulisi mu puisi
Isinya tentang cinta
Yang ku do'akan diam-diam
Tentang petikan mimpi
Yang selalu datang malam malam

Isinya perihal kita
Dan kutipan - kutipan rindu
Yang ku telan dalam-dalam

Kata-kata berebutan keluar sampai penat
Dada berdegup-degup sampai sesak
Lalu aku berhenti mencoba

Aku yang tak bisa menulisi mu puisi
Karena tentang mu,
Aku selalu tak punya daya
Tapi aku tak ingin berhenti pada mu.
Itu saja.
Diam saja.


(23 April 2017 – Rindu dan segelas teh)


Yang Tertinggal Dari Prasasti


Apa yang lebih pedih dari Hati yang sudah kau ambil
Kepala yang kau penggal
Sementara tangan masih menunggu untuk kau genggam.

(April -  Kau. Jauh.)