Friday, April 8, 2011

Wisata siang

Aku menulis disini...

Didepan segelas besar cola dan orang lain memandangku lirih sedikit. Seolah mereka tahu aku ini sedang kenapa. Dan memang hari ini aku begitu lelah tanpa tujuan, setelah aku bangun pagi dan mencari sebungkus roti bakar yang aku beli kemarin. Tolong jangan pandang aku begitu. Aku bukan seorang pencuri, atau seorang pengkhianat. Aku hanya butuh nafas. Dari mereka yang memburu ku untuk menuntut. Aku hanya butuh nafas. Butuh detakan jantung yang kuat lagi. Aku tak tahu aku dimana. Ditemani segelas cola bergelas besar dan tiga batang rokok yang tersisa, mereka bersandar pada meja besi dingin dengan kursi kursi disekelilingku kosong. Kesepian.Kenapa semua orang berlalu lalang begitu saja sementara kursi ini minta diduduki. Ah. Tidak ada yang peduli. Meski ku tahu mariah carey sedang bernyayi merdu untuk kami yang akan duduk disini. Tidak dia bukan bernyanyi untuk aku, tapi untuk ruangan diatap langit ini. Kemarin malam sampai sore ini aku telah mati. Aku telahg terjun dari lantai delapan yang murka, didalamnya penuh kemurkaan. Kemurkaan ku pada dinding rahim, dan kedurjaan ku pada modernisasi. Aku tidak kuat, aku bunuh diri saja. Setelah sebelumnya membunuh aku yang lalu, jalani saja dua hari tanpa jiwa, toh tak ada yang tahu.. Lebih tepatnya tak ada lagi yang peduli. Hei jangan kasihani aku. Aku sudah biasa seperti ini.


*******

Ve duduk sendirian di caffe memandang manusia lain berlalu lalang. Sesekali menghisap rokok mentol diselipan jari nya dan sesekali menyeruput cola didepannya, sementara jari kanannya terlalu asyik mengutak atik blackberry yang ia pegang. Tapi ve sesungguhnya sedang tidak asyik. Matanya tanpa jiwa seperti setelah hitam yang ia gunakan hari ini dan hari yang lalu. Siang ini ve sedang tidak berdrama, hanya sesekali menangis dipojok ruangan setelah malam kemarin ia telah membunuh angin didalam sepinya. Bangun tidur tadi ve masih menangis. Tidak ada yang tahu apa yang ve tangisi, semua hanya bisa berasumsi tentang tangisan ve, tidak ada yang tahu kenapa dia terisak sendiri, menjambak - jambak rambutnya. sampai saat dia lekas bangun dan pergi mandi, didalam kamar mandi pun dia menangis, berjejalan dengan ketelanjangan yang tidak ve kenali. Ve pun pergi, dengan mobil merah ranumnya menuju ke pusat institusi yang disebut kampus, tidak pernah ada pendidikan disana lebih tepatnya ve tidak merasakan pendidikan, hanya jalan ditempat saja. Hari ini tidak ada yang menarik dari hidupnya. Pagi. Bagun tidur. Menangis Menuju siang. Dikampus. Menangis lagi. Siang. Bercanda dengan jakarta, menumpang transjakarta. Ke Rumah Sakit. Tanpa ada yang dia cari. Kebingungan. Di lorong pertama ve salah masuk ruangan, kedalam poli penyakit dalam, semua yang ia lihat hanya orang sakit, diatas kursi roda, tergeletak tak berdaya ditempat tidur, dan wajah cemas menunggu namanya dipanggil, ve disana berjam jam. Tidak melakukan apa apa. Semua yang duduk disana orang sakit, menahan sakit didalam raganya Kecuali ve, menahan luka dihati dan jiwanya. "Mbak, mencari apa ya?" Seorang pria berumur 25 tahun membawa sapu dan cikraknya bertanya pada ve Diam. Ve cuma diam. "Dari tadi duduk disini, mau ke poli penyakit dalam?" Pria itu bertanya lagi, wahyu namanya, itu ve lihat dari kemeja yang pria itu pakai. Ve diam lagi. Ve menunjuk ke selembar kertas yang tertempel didinding tepat disebelah kanannya..

POLIKLINIK PSIKIATRI ANAK DAN REMAJA Lntai. II

"Oh, psikiatri, udah kedalam?"

"Belum, saya sedang tunggu dokternya" bohong. Ve bohong

"Ke depertemen psikiatri aja mba, ada dibelakang"

"Oh iya makasi ya.. Saya harus kemana mas?"

"Turun kebawah, dari lift belok kanan, perempatan pertama belok kanan lagi, lurus terus sampai mentok lalu belok kiri, lalu belok kanan"

 "Terima kasih mas" Ve pun segera pergi dari ruangan bau karbol itu.

Ve tampak mengutak atik handphonenya lagi, lalu terdiam, tanda kecewa, telfonnya tidak diangkat.. Lagi. Rautnya mengatakan, dia tidak lagi percaya siapa pun. Setelah tadi sebelum menuju rumah sakit ve menelfon seseorang, yang seperti bayangan. Tidak tampak. Suaranya lembut, penuh keyakinan bahwa tidak akan mengecewakan ve, lelaki itu berjanji akan menghubungi ve lagi. Tapi sampai sore ini pun, tidak sekalipun namanya tampak dilayar handphone ve. Tidak bisa dipercaya. Ve. Sudah tidak percaya siapapun lagi.
Dinding yang membisikan ve untuk terus melangkah, tak pedulikan petunjuk wahyu si cleaning service, arahnya hanya lantai cokelat kekuningan yang dia pijak, melangkah saja tak tahu kemana. Sampai tiba di Pusat Rehabilitasi Orang Dengan HIV/AIDS. Dia tersesat. Ke dalam lingkaran para ODHA yang sedang duduk terdiam seolah menghitung debu yang ia hirup sebelum dipanggil Tuhan, ve duduk diantaranya, menangis dipinggir mereka. Bingung. Tidak mengerti, tidak ada arah lagi. Semua jadi seolah udara yang kasat mata, ve tidak peduli lagi pada dunia yang hanya buatnya bingung.
Wisata rumah sakitnya selesai, diujung jembatan rumah sakit, sampai dia sadar dia sudah tersesat terlalu jauh dan tidak bisa kembali, ingin melarutkan diri dalam aliran sungai yang ia lalui pun tidak mampu. Ve masih ingin hidup. Andai dia tahu, semua tahu, ve hanya berusaha kuat, untuk terus bertahan didalam semua tekanan, ketika tak ada lagi yang percaya padanya, saat semua menuntutnya dengan luka yang tidak akan pernah bisa sembuh, ve hanya ingin orang lain lihat dia kuat, menyenangkan orang lain meskipun dia sendiri bingung atas dirinya, hidupnya dan cintanya. Tidak pernah ada ruang tunggu klinik psikiatri yang ingin ia masuki, hanya ada tatapan curiga ia pada orang disekitarnya.
Dan kaki yang lelah terus mencari, serta hati menjerit kesakitan. Dia akan terpuruk sendiri disemua tempat sampai dia menemukan terapinya sendiri. Terapinya jalani hidup. Obat untuk lukanya. Belum lagi pertanyaan yang paling dia benci sedunia..
"Aku harus pulang kemana?"
Karena tidak pernah ada rumah untuknya, tidak ada sambutan hangat yang memakunya tidak ingin pergi, pelukan mesranya dengan jendela rumah sudah tidak berarti lagi.

Wisata siang ini berakhir. Tidak akan pernah ada psikiater untuk orang miskin,,
Dibawah langit didepan komik gundala putra petir yang ia bawa, ia ingin sekali bermanja pada pagi dan terpeluk didalam pelangi.
"Agar aku tak rasakan luka lagi"

No comments:

Post a Comment