Wednesday, October 26, 2016

Toapekong ; Oktober 1


Disisa reruntuhan setelah semalam
jangan dicari kepingan rasa, tidak akan hancur menjadi puing
karena seperti keras pualam, tidak sempat retak dan enggan pecah
lalu apa yang telah jadi kepingan?

Oh ! ini ego ku yang tercecer; yang terpecah belah
lalu runtuh.

Pada akhirnya; semua yang harus luruh maka luruh, 
semua yang harus pecah segera hancur, 
sebelum meledak sendirian.
maka yang kau lihat itu, ego yang luluh lalu lapang.
kau, dahsyat menghancurkan lalu liar menelusup otak!
aku, takut sampai hati.
itu saja.

mengapa kita - suka sekali mencari debu ditumpukan puing
mengapa kita - suka sekali mengulang pola diruntuhan kenang

karena yang sulit bukan menghancurkan hati tapi berbenah diri.
sambil mencari sedikit-sedikit, apa yang masih bisa kita bangun lagi.

yang lalu sudah hancur, lalu yang sudah hancur itu aku.
dan kau, reruntuhan paling nyaman yang membuatku tak ingin beranjak.

mengapa kita.
mengapa aku ? 

(1)





Ada kala di sore, 
langit memaksa kita pergi. 
angin memaksa tanah untuk terbang.
dan kau memaksa ku melarikan diri.

diantara labirin yang hancur. 
aku tak ingin tersesat, 
bagaimana bisa aku lewat jika semua tertutup tumpukan ego. 
kepala batu. 
kepala ku sendiri.
jika ada yang harus dirubah, maka aku ingin merubah arah.
berhenti menyalahkan gempa dan menangisi yang telah rubuh.

aku ingin jalan setapak yang teduh.
kala suara ku dan siapa terbawa angin, meresap ombak.

sambil pelan-pelan senyum kita ranum, 
lupa putih karena warna memenuhi bola mata. 

(2)

Toapekong, 1 Oktober 2016


No comments:

Post a Comment