Saturday, October 14, 2017

Yang tidak tahu; Cuma AKU

Di suatu sore ketika matahari mulai kelelahan, aku dan sekumpulan bekantan memandangi mu, yang sedang keranjingan mabuk bakung, tanpa peduli pada kunang-kunang serupa lalat, belum bercahaya, katanya belum jadi kuku orang mati. Dan di bawah kita arus sungai begitu kencang, padahal ku dengar dari penduduk setempat, air beriak tanda tak dalam, dan buaya – buaya muara siap – siap menerkam, didalam dasar, persis dibawah perahu kita.

Kita, aku dan kepala ku yang terdampar disebuah pulau, entah apa namanya – aku tiba-tiba amnesia, atau pura-pura, jika saja diantara kita pandai membaca pertanda, pasti kita tahu dan memahami. Tapi aku dan sebagian kepalaku lupa membaca dan pura-pura tidak tahu.

Lalu aku pergi ke dek kapal, memperhatikan mu dari jauh, di kapal sebelah,kapal yang karam, tak punya nahkoda.
Matahari sudah makin lelah, garis-garisnya paruh baya; ada jingga, memerah, menghitam, ini mungkin artinya adalah syahdu, jika saja aku tahu, bahwa esok hari, semua semakin gelap.

Lalu aku terbangun dari mimpi soal perahu dan sungai. Aku hanya terbaring sendirian di sebuah kamar warna ungu – abu yang penuh jamur putih di dinding. Keringat mulai keluar deras dari pori-pori ku, jika saja keringat mampu menggantikan air mata, mungkin mata ku sudah berbinar, bersih, sejuk tidak memerah kekurangan tidur. Perkara mimpi soal kapal dan sungai, aku seperti pernah berada disana, entah masa apa, entah di kehidupan lalu ku yang mana, terasa seperti tak asing.

Mimpi itu seperti puisi, yang berisi sampah-sampah kata, yang tertahan tanpa aku tahu apa, mungkin aku ini putri keturunan buaya, atau dulu aku ternyata ikan-ikan kecil penghuni sungai atau aku ini sebenarnya adalah pohon nira yang tumbuh liar.
AH, aku butuh air putih.
Lalu aku memandangi tattoo di tangan kiri ku, tattto sebuah sungai dan dek kapal, sambil bertanya – dan selalu bertanya. Kapan aku buat tattoo ini, tattto apa ini.
Disana, didalam tattoo ku, sungai itu berliku, dan sepanjangnya tumbuh pohon-pohon lebat – mungkin saja itu hutan, tattoo itu kosong, tanpa siapapun. Dek kapalnya tak ada satu pun orang. Arusnya tak kencang, seperti tidak arus, tapi kapalnya tetap jalan.
Kamar ku seketika sunyi, sebuah surat di meja kerja ku. Sebelumnya tak pernah ada disana.
Tulisan tangan.

Pesan untuk mu.
Maka kita tak akan pernah bertemu lagi, dan kamu akan membunuh segala yang pernah ku ingat tentang ku, hingga suatu ketika pun datang, tak ada lagi yang bisa kau ingat, selain hati yang berlubang.
Tak ada yang perlu kau ingat.

Tak perlu lagi bertanya,
Aku

Lalu, aku duduk menangis.
Selalu mencoba mengingat-ingat, mengumpulkan lagi apa saja yang telah mata ku lihat, kulit ku sentuh dan masuk kedalam hati, tapi rupanya tak ada lagi bahasa yang bisa menerjemahkan. Tidak pernah ada kenang yang cukup untuk dipertahankan dalam ingatan, aku membongkar isi kepala ku mencari tumpukan logika dan rasa yang sudah ku buang dahulu, Dan mengingat lagi, mengapa aku membuang semuanya untuk satu hal yang akhirnya pun aku terbuang.

Aku ingin memaki, tapi entah pada apa, pada siapa.

Aku tak lagi bisa tidur.
Bertanya-tanya.

Apakah ada seseorang di dunia ini yang mampu menjelaskan apa yang menjadi terbaik untuk orang yang lain?
Bagaimana bisa menentukan rasa sakit yang dialami seseorang sementara kita adalah makluk yang selalu sendirian?
Bukankah cuma diri kita sendiri yang bisa merasakan sakit yang kita alami, atau bahagia?

Mengapa bahkan diri kita tak mampu memilih untuk apa yang akan kita lakukan.
dan segala yang ditanyakan, tak akan dijawab, hingga pada suatu ketika, kita tak lagi butuh jawaban. 
Kosong. 
Mencintaimu itu kosong.