Di suatu sore
ketika matahari mulai kelelahan, aku dan sekumpulan bekantan memandangi mu,
yang sedang keranjingan mabuk bakung, tanpa peduli pada kunang-kunang serupa
lalat, belum bercahaya, katanya belum jadi kuku orang mati. Dan di bawah kita
arus sungai begitu kencang, padahal ku dengar dari penduduk setempat, air
beriak tanda tak dalam, dan buaya – buaya muara siap – siap menerkam, didalam
dasar, persis dibawah perahu kita.
Kita, aku dan
kepala ku yang terdampar disebuah pulau, entah apa namanya – aku tiba-tiba
amnesia, atau pura-pura, jika saja diantara kita pandai membaca pertanda, pasti
kita tahu dan memahami. Tapi aku dan sebagian kepalaku lupa membaca dan
pura-pura tidak tahu.
Lalu aku pergi
ke dek kapal, memperhatikan mu dari jauh, di kapal sebelah,kapal yang karam,
tak punya nahkoda.
Matahari sudah
makin lelah, garis-garisnya paruh baya; ada jingga, memerah, menghitam, ini
mungkin artinya adalah syahdu, jika saja aku tahu, bahwa esok hari, semua
semakin gelap.
Lalu aku
terbangun dari mimpi soal perahu dan sungai. Aku hanya terbaring sendirian di
sebuah kamar warna ungu – abu yang penuh jamur putih di dinding. Keringat mulai
keluar deras dari pori-pori ku, jika saja keringat mampu menggantikan air mata,
mungkin mata ku sudah berbinar, bersih, sejuk tidak memerah kekurangan tidur.
Perkara mimpi soal kapal dan sungai, aku seperti pernah berada disana, entah
masa apa, entah di kehidupan lalu ku yang mana, terasa seperti tak asing.
Mimpi itu
seperti puisi, yang berisi sampah-sampah kata, yang tertahan tanpa aku tahu
apa, mungkin aku ini putri keturunan buaya, atau dulu aku ternyata ikan-ikan
kecil penghuni sungai atau aku ini sebenarnya adalah pohon nira yang tumbuh
liar.
AH, aku butuh
air putih.
Lalu aku
memandangi tattoo di tangan kiri ku, tattto sebuah sungai dan dek kapal, sambil
bertanya – dan selalu bertanya. Kapan aku buat tattoo ini, tattto apa ini.
Disana, didalam
tattoo ku, sungai itu berliku, dan sepanjangnya tumbuh pohon-pohon lebat –
mungkin saja itu hutan, tattoo itu kosong, tanpa siapapun. Dek kapalnya tak ada
satu pun orang. Arusnya tak kencang, seperti tidak arus, tapi kapalnya tetap
jalan.
Kamar ku
seketika sunyi, sebuah surat di meja kerja ku. Sebelumnya tak pernah ada
disana.
Tulisan tangan.
Pesan untuk mu.
Maka kita tak akan pernah bertemu lagi, dan kamu
akan membunuh segala yang pernah ku ingat tentang ku, hingga suatu ketika pun
datang, tak ada lagi yang bisa kau ingat, selain hati yang berlubang.
Tak ada yang perlu kau ingat.
Tak perlu lagi bertanya,
Aku
Lalu, aku duduk
menangis.
Selalu mencoba
mengingat-ingat, mengumpulkan lagi apa saja yang telah mata ku lihat, kulit ku
sentuh dan masuk kedalam hati, tapi rupanya tak ada lagi bahasa yang bisa
menerjemahkan. Tidak pernah
ada kenang yang cukup untuk dipertahankan dalam ingatan, aku membongkar isi
kepala ku mencari tumpukan logika dan rasa yang sudah ku buang dahulu, Dan
mengingat lagi, mengapa aku membuang semuanya untuk satu hal yang akhirnya pun
aku terbuang.
Aku ingin
memaki, tapi entah pada apa, pada siapa.
Aku tak lagi
bisa tidur.
Bertanya-tanya.
Apakah ada
seseorang di dunia ini yang mampu menjelaskan apa yang menjadi terbaik untuk
orang yang lain?
Bagaimana bisa
menentukan rasa sakit yang dialami seseorang sementara kita adalah makluk yang
selalu sendirian?
Bukankah cuma
diri kita sendiri yang bisa merasakan sakit yang kita alami, atau bahagia?
Mengapa bahkan
diri kita tak mampu memilih untuk apa yang akan kita lakukan.
dan segala yang ditanyakan, tak akan dijawab, hingga pada suatu ketika, kita tak lagi butuh jawaban.
Kosong.
Mencintaimu itu kosong.