Kealpaanku untuk telanjang
Disendiri, berbaris- kursi pendo'a; berdoa
Letak nyawa terselip ebony
Lonceng kecil bersenandung, entah apa yang dipanggil; hadir sedamai inikah?
Chrysan cantik bermerah putih ranum
Berdansa ku dalam tangis sebuah pancung
Akulah pelita redup mengembun
Hingga tanah basah bius pusara
Tak menemukan ruang kecil bertirai hitam; itulah ruang pendo'aku
Bisakah aku berkeluh padanya..?
Sebuah diam tanpa sakramen suci
Air mata kecil mencambuk rupa
Mengalir dalam manusia; mereka adalah semunafik-munafiknya makhluk
Dan aku adalah manusia semanusia-manusianya
Garis merah mampu ku lukis dari sini
Violet mengabai pada hijauku
Lilin putih dalam kaca
Cermin memangsa mata, hingga isak darah menanah
Tak habis pun api termakan angin
Sudah pada hakikatNya
Perempuan; AKU, canda kecil, payudara yang baru mulai tumbuh, wajah gincu tebar bedak -oh aku ingkar kuasaNya-
Bertelanjang kaki.
Dimana adanya, disitu letak firdaus
Tak perlulah dengar surga, apalagi sombong atas neraka
Bila mengetuk hati pun butuh imbalan, atas laku.
Dongeng pelan dicatat
Telah tertulis, dalam peti mati kepastian
Dan candi-candi yang bisu tersenyum
Sebagai Alfa, bersandar persepi . Langitku, jejakku mereka berirama seriosa
Diajak ku terbang, bersama sayap sayup dibelakang punggung .
Masih sendirian, desir hangat telah membuai, rembulan dan bintang hanya saksi.
Malam telah lama mati
Berenang didalam anggun, sebuah angan
larut menyergap jutaan binar mata pemuja. Meski kosong.
Cukup dibawah terjatuh lirih.
Hingga harus pulang, saatnya tiba
Aku dan Perupa Semesta memeluk dalam diam. Bukan bisu, hanya hening.
-------
Disana, 05 mei 2013
Aku dan Dia saja.
No comments:
Post a Comment