Monday, May 6, 2013

Nadir

Pilar-pilar yang disebut Tuhan
Kealpaanku untuk telanjang 
Disendiri, berbaris- kursi pendo'a; berdoa 
Letak nyawa terselip ebony 
Lonceng kecil bersenandung, entah apa yang dipanggil; hadir sedamai inikah? 

Chrysan cantik bermerah putih ranum 
Berdansa ku dalam tangis sebuah pancung 
Akulah pelita redup mengembun 
Hingga tanah basah bius pusara 
Tak menemukan ruang kecil bertirai hitam; itulah ruang pendo'aku 
Bisakah aku berkeluh padanya..? 

Sebuah diam tanpa sakramen suci 
Air mata kecil mencambuk rupa 
Mengalir dalam manusia; mereka adalah semunafik-munafiknya makhluk 
Dan aku adalah manusia semanusia-manusianya 

Garis merah mampu ku lukis dari sini 
Violet mengabai pada hijauku 
Lilin putih dalam kaca 
Cermin memangsa mata, hingga isak darah menanah 
Tak habis pun api termakan angin 

Sudah pada hakikatNya 
Perempuan; AKU, canda kecil, payudara yang baru mulai tumbuh, wajah gincu tebar bedak -oh aku ingkar kuasaNya- 
Bertelanjang kaki. 
Dimana adanya, disitu letak firdaus 

Tak perlulah dengar surga, apalagi sombong atas neraka 
Bila mengetuk hati pun butuh imbalan, atas laku. 
Dongeng pelan dicatat 
Telah tertulis, dalam peti mati kepastian 

Dan candi-candi yang bisu tersenyum 
Sebagai Alfa, bersandar persepi . Langitku, jejakku mereka berirama seriosa 
Diajak ku terbang, bersama sayap sayup dibelakang punggung . 
Masih sendirian, desir hangat telah membuai, rembulan dan bintang hanya saksi. 
Malam telah lama mati 
Berenang didalam anggun, sebuah angan 
larut menyergap jutaan binar mata pemuja. Meski kosong. 
Cukup dibawah terjatuh lirih. 

Hingga harus pulang, saatnya tiba 
Aku dan Perupa Semesta memeluk dalam diam. Bukan bisu, hanya hening. 




------- 
Disana, 05 mei 2013 
Aku dan Dia saja.

No comments:

Post a Comment