Friday, May 31, 2013

Secangkir kopi manis

Malam ini bukan malam yang tepat untuk aku berbagi kisah pada Mada, selepas aku sampai di kota ini rasanya ada perasaan yang berbeda. Aku tak berani mengatakan pada mada bahwa kini ada Desember. Nyatanya Desember seperti asa yang tak berujung realita, ada seperti tidak ada. 
Aku dan Mada duduk di balkon rumah ku, memandang kunang-kunang yang terbang dipematang sawah, rintik gerimis menemani kami. Aku menggenggam secangkir kopi, Mada asik bersiul – siul memandang ku. Mada memandang kembali pematang sawah. 

“ Mitosnya, jika kamu melihat kunang-kunang kamu akan bertemu dengan orang yang kamu rindukan” 
Ucap mada seraya memejamkan mata

Aku menatap mada kemudian tersenyum
Tiba-tiba satu kunang-kunang hinggap di jari manis ku, aku meletakkan gelas ku dan memainkan kunang-kunang itu, aku tak pernah sedekat ini melihat kunang-kunang. Sangat dekat. 
Maka aku pun memejamkan mata, berharap apa yang dikatakan mada soal mitos kunang-kunang itu benar. Tersenyum simpul. 

“Siapa yang sedang kamu rindukan..?” Mada bertanya pada ku 

Memejamkan mata

Aku dan Desember berjalan bergandengan di rintik gerimis, Desember menggenggam tangan ku erat, masih ku ingat jelas genggamannya yang hangat dan senyumnya yang manis. Malam itu, adalah malam terakhir aku bertemu desember.

“ Kamu… “
“ Bagaimana bisa, aku saat ini duduk bersama mu”
Aku membiarkan kunang-kunang ditanggan ku terbang pergi, menatap kunang-kunang yang sudah terbang itu. Berharap kerinduan tak hanya jadi catatan bisu. 

Rindu ku bukan mada.

Kami sama-sama memandang kunang-kunang itu. Mereka menari-menari indah menarik lawan jenisnya, apa aku harus seperti kunang-kunang, menari untuk membuat Mada mengerti apa yang aku rasakan? Tentang Desember kemarin. 

**** 

Malam sebelum aku pergi, Mada berhasil menemukanku yang sedang menangis dipinggir trotoar sendirian
“Bagaimana bisa kamu selalu menemukan ku…?”
“Bagaimana bisa kamu menghindari ku…?”

Aku menangis didalam bahunya. Tiada hangat selain jemarinya.

****

Aku dan Desember berpayung gerimis yang sama. Pekat semakin menjadi, muram selalu mengiringi langkah. Aku dan Desember semakin dekat, sepiring ayam betutu yang aku nikmati bersamanya, selepas cumbu sepersekian detik yang membuat aku dan desember tak bernafas. Akankah cumbu itu ada bersama ranum ku. 
“Apa agama mu..?”
“Pantaskah kau tanyakan keyakinan ku?” 
“Maukah kau menjadi pacar ku…?” 
… Aku terdiam 
“mungkin kita ini dua manusia yang kelelahan akan hidup. Tidakkah kau lelah Solana..?”
.. aku menunduk 
Desember mendekati ku, aku memeluknya. 
“entah ada apa dengan rasa ini, keajaiban; seperti yang kau katakan kemarin, kita tidak pernah tahu perasaan ini akan jatuh kepada siapa, tapi didalam mu lah aku merasakan keajaiban ini” 
Resmi. Sebuah komitmen dimana kita bertaruh pada langkah yang akan kita jejaki. Sebuah komitmen konyol yang aku buat dengan Desember, bagaimana bisa aku bertaruh pada orang yang baru saja aku kenal untuk hidup bersamanya. 

Kenyataannya desember banyak memaki ku dalam diam, bagaimana bisa aku menikahi orang yang memakiku, tidak mengatakan bagaimana perasaannya pada ku dan meminta ku untuk percaya padahal dia sendiri tidak mampu mempercayai perasaannnya sendiri. Alangkah konyolnya komitmen ini. 

Sebulan sudah berlalu bersama desember, aku dan desember hanya menikmati waktu dengan layar ponsel, ketika ku sadari, Ya aku lebih butuh nyata dibanding harapan semu. Benarkah langkah yang kami mulai ketika itu. Toh akhirnya akan menghancurkan kami… 

*****

Pagi sebelum aku pergi. 
“ Selamat pagi mada.. “
“ Selamat pagi lana.. “
“ Kamu sudah packing ? “ 
“ Belum, bahkan aku sudah lupa kalau hari ini aku akan pergi “ 
“ Aku juga “ 
“ Tapi kita harus pergi “
“ Iya, kita akan bertemu lagi disini.. “ 
“ Kapan? “ 
“ Setelah aku selesai dengan semua kerjaan yang menumpuk dan tulisan yang selalu setengah jadi… oh.. dua bulan yang terasa sangat lama “ 
“ Aku hanya pergi dua minggu “
“ Tapi aku pergi dua bulan “  
“ Baik-baik ya kamu “
“ Ya, kamu juga… “ 
“ Bali dan Kanada itu jauh…” 
“ Tidak jika kita selalu merasa dekat…”

***** 

Hingga kunang-kunang semakin tak tampak, aku duduk disini bersama Mada, sahabat ku. Bersama kenangan akan Desember yang sudah pergi jauh, apa yang aku pikir ada belum tentu benar-benar ada, seperti Rasa. 
Maka aku bertaruh, gerimis akan selalu hangat, untuk perasaan ku sendiri, ketika aku memilih harus berdekatan dengan siapa, dan memilih siapa yang terbaik setelah aku tahu apa yang tidak baik. Bukankah cerita itu ada untuk diceritakan..? 

Mada menggenggam tangan ku.. 

“ aku pernah bilang, Bali dan Kanada tak terlalu jauh jika kita merasa dekat “ 
“ dan aku yang menghindari jarak yang sebenernya dekat “ 
“ tidak “ 
“ lalu… ? “ 
“ sekarang ini bukan lagi Desember, sudah Januari “ 
“tapi Desember pernah ada”
“karena memang harus ada, agar kau tahu apa yang tidak baik sebelum kamu mendapatkan yang terbaik” 
“ lantas kapan…?” 
Mada tersenyum. 
“hingga tiba saatnya, saat kau telah menang, maka kau akan diperjuangkan”
Terima kasih karena kamu selalu dapat menemukan ku, Mada.


31 Mei 2013 
Cerita yg pendek diantara demam. 

No comments:

Post a Comment