Thursday, April 6, 2017

Februari ; Borneo yang lalu.


Sampai waktu pulang, kita terburu-buru berkemas, memasukkan semua perkakas didalam satu tas. 
Malam itu ada yang mabuk: ada yang mabuk sampai tak sadar, 
ada beberapa yang mabuk ingin bercumbu, 
lalu ada yang mencoba menjadi pemabuk, 
sebagian lagi tak sempat mabuk.
Diujung sana, ia mabuk rindu.

Perasaan-perasaan lalu lupa dimasukan kedalam satu peti, 
berharapnya bisa ditinggal saja, agar tak lagi jua rasa prasangka.
Apa daya tanda tanya menyergap masuk, meminta untuk dikemas, masuk kedalam tas, 
isi antara perkakas, body lotion, sunblock, alas tidur, dan keping mimpi.

Di larut, angan tak ada yang bersambut, 
satu-satu cerita berpelukan mesra, mereka punya masing-masing nama, 
tak ada yang berani membocori nama mereka, pelukan saja. 
Tanda rindu sebentar. Tak ada yang berani. 

Malam yang berakhir, tidak ada hujan, 
tidak ada do’a yang terucap, tak ada harap yang disebut.
Karena tak ada. 

Lalu ia, berdiri berbatas angkasa.
Dilagukan nyanyian hutan yang kesakitan…
Air sungai yang kesepian, tak ingin ada yang pergi, ditebang lagi, dihancur lagi

Disini hati ulun tertinggal…
Salam pada awan-awan, tak berani menatap tajam kebawah lalu tak berani sayonara.
Kecil hati merelakan pergi…

Tak ada yang harus diucapkan selamat tinggal, atau dikecup sayang…
Tak ada yang perlu di risaukan..

Sampai ketika waktu pulang benar datang,
Ia telah sampai.
Ingat apa rasanya mabuk malam itu, bagaimana suara sumbang, parau memanggil-manggil. Bilang cinta diam-diam.
Menyeberang menjauhi yang ditinggal.
Ini tak hanya hati ku yang lupa ku bawa, tapi juga kau.

Berlalu – ada kenang yang berebut minta diingat, penyusup malam yang hadir di babak mimpi, tentang apa… 
tentang harus kembali, entah untuk apa, menemuimu kah?


Maka, ia jangan kembali, jangan datang, jangan berani-berani, jangan…..